Kamis, 17 September 2009

AIDS dan Perilaku Seksual

Beberapa waktu lalu, berita tentang turis Australia pengidap virus AIDS, yang mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan 4 WTS di Bali, menyita perhatian banyak orang. Padahal berita seperti ini sebenarnya bukanlah sebuah berita baru. Maka kalau karena berita itu kemudian baru akan diambil langkah pencegahan, barangkali sudah agak terlambat.
Pada tahun 1987, seorang Italia, yang juga pengidap virus AIDS, mengaku pernah menjalin hubungan cukup lama dengan 2 wanita kita. Pria yang lama tinggal di Kuta, Bali, itu mengaku kepada saya, bahwa kedua pacarnya itu berasal dari Denpasar dan Ujungpandang. Ketika saya minta agar kedua pacarnya itu mendapat pemeriksaan darah, dia setuju. Tetapi, setelah itu saya kehilangan dia. Ternyata duda satu anak, yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan wanita Nigeria ketika dia tinggal di negeri itu, telah pergi. Kata orang, dia diminta meninggalkan Indonesia, dengan kata lain, diusir. Sayang sekali, kita kehilangan 2 wanita penting itu.
Sebelum itu, media massa juga ramai memberitakan seorang Australia, pria homoseksual, yang dibunuh di salah satu hotel di Candidasa, Bali, oleh pasangannya yang orang kita. Pria Australia homoseksual itu ternyata pengidap AIDS juga. Celakanya, sang pembunuh, yang dikenal dengan nama IWS, melarikan diri. Entah, kini sudah tertangkap atau belum.
    
Peristiwa-peristiwa seperti ini memang sangat mengerikan bagi penyebaran AIDS di sini. Bayangkan saja, bila keempat WTS itu tertular, seperti teman-teman mereka di Surabaya. Atau, bila wanita Denpasar dan Ujungpandang itu juga tertular virus yang tak kenal ampun itu. Atau, juga bila IWS yang entah di mana kini berada, telah membawa virus AIDS. Alangkah ngerinya bila mereka kemudian melakukan hubungan seksual, yang mungkin dengan konsumen, dengan pacar, teman, istri atau suami.
Perilaku seksual
    
AIDS yang akhir-akhir ini menjadi berita utama media massa, memang dapat ditularkan melalui beberapa cara. Hubungan seksual, tranfusi darah, jarum suntik, dari ibu ke bayinya, dan melalui luka, adalah cara penularan yang telah terbukti. Tetapi, agaknya cara penularan melalui hubungan seksual sangat perlu mendapat perhatian, mengingat semua orang berkepentingan dengan seks.
     
Kalau pada masa awal ditemukan, AIDS dianggap terjadi pada kelompok homoseksual, kini anggapan itu lenyap. Siapa saja dapat terkena AIDS. Earvin "Magic" Johnson, pemain bola basket terkenal Amerika, yang mengumumkan dirinya terkena AIDS, laksana mengingatkan seluruh umat, bahwa AIDS bukan monopoli kelompok homoseksual. Johnson memang bukan seorang homoseksual, tetapi ia mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan. Demikian juga lelaki Italia yang pernah berbisnis bar dan restoran di Kuta itu, bukanlah seorang homoseksual. Tetapi, karena namanya tidak sepopuler Johnson, maka ia tidak sempat membuat kejutan, walaupun media massa juga memuat pengakuannya, bahwa dia tidak pernah berperilaku homoseksual.
     
Beberapa perilaku seksual yang  punya resiko tinggi terhadap penyebaran AIDS ialah, hubungan seksual dengan banyak pasangan, hubungan seksual dengan 1 orang tetapi punya banyak pasangan, hubungan seksual dengan WTS atau LTS (lelaku tuna susila), dan hubungan seksual dengan orang yang tidak dikenal baik.
     
Mengerikan sekali, betapa banyak orang yang berperilaku seksual seperti ini. Perubahan nilai[nilai moral telah mengubah perilaku seksual manusia. Beberapa hasil penelitian dengan kuat telah menunjukkan adanya perubahan itu. Hubungan seksual pranikah telah merupakan perilaku yang semakin umum, dan cenderung berlangsung bebas dengan lebih dari 1 pasangan. Di pihak lain, hubungan seksual ekstramarital dengan orang ketiga, juga bukan merupakan berita yang luar biasa lagi. Dan tidak jarang yang disebut orang ketiga, ternyata lebih dari satu. Sementara itu tempat-tempat WTS, baik yang ramai maupun tidak ramai, yang nyata maupun terselubung, tetap saja dikunjungi orang. Mereka seakan-akan tidak peduli dengan berita besar tentang WTS Surabaya yang terkena AIDS. Kalau pun pengunjung menjadi semakin sepi, itu wajar, karena keterkejutan masih tersisa. Tetapi percayalah, keadaan pasar di tempat-tempat seperti itu akan kembali seperti semula.
     
Di daerah pariwisata, kontak-kontak seksual terjadi lebih rumit, karena tidak hanya terjadi antara wisatawan pria dari mancanegara dengan WTS kita. Kontak seksual juga terjadi antara wisatawan wanita dari mancanegara dengan LTS kita. Dan selain itu, terjadi juga kontak seksual antarwisatawan atau antara wisatawan dengan orang kita atas nama suka sama suka dan kebebasan, yang dilatarbelakangi oleh suasana romantis daerah pariwisata. Cukup rumit, sekaligus mengerikan, sebagai mata rantai penyebaran AIDS di negara kita.
     
Kita tidak pernah tahu, berapa banyak wisatawan yang menghabiskan dollarnya di sini, yang membawa virus AIDS. Kita juga tidak pernah tahu, berapa persen dari mereka yang sempat melakukan kontak seksual selama berada di sini, siapa pun pasangan seksual mereka. Dan tidak kita ketahui pula, berapa banyak yang telah tertular akibat kontak seksual dengan wisatawan itu.
Mencegah penyebaran
    
Penyebaran  AIDS melalui kontak seksual memang sangat mengerikan. Tetapi, cara pencegahan gaya Singapura, dengan membuat undang-undang untuk menghukum pengidap atau penderita AIDS yang melakukan hubungan seksual, tanpa memberitahu pasangannya, sungguh tidak rasional, di samping tidak akan efektif.
    
Pencegahan akan berhasil, bila masyarakat menyadari perilaku seksual risiko tinggi itu, kemudian tidak melakukannya. Berarti, semua orang dituntut untuk melakukan hubungan seksual hanya dengan 1 orang saja. Tetapi harus disadari, bahwa tuntutan itu tidak selalu mudah dilaksanakan, paling tidak bagi sebagian orang. Apalagi didukung oleh perubahan nilai-nilai moral yang mempengaruhi perilaku seksual, seperti yang telah terjadi kini.
    
Bagi sebagian orang yang (terpaksa) melakukan hubungan seksual dengan orang lain, terutama yang berperilaku seksual risiko tinggi, kita serukan untuk selalu menggunakan kondom yang baik. Namun, seruan ini akan kandas, bila kita tidak tanamkan pengertian yang baik tentang AIDS sebelumnya. Langkah kondomisasi dengan membagikan kondom di tempat-tempat WTS, merupakan langkah yang baik, walaupun belum tentu bermanfaat atau hanya akan dijadikan balon mainan. Masalahnya, konsumenlah yang menentukan mau atau tidak menggunakan kondom. Kecuali, kalau semua WTS berani menolak konsumen yang tidak mau menggunakan kondom.
      
Para WTS di Sanur, Bali, yang menjadi sasaran penelitian AIDS mengaku, bahwa mereka selalu menyediakan kondom. Tetapi, tidak satu pun yang mengaku, bahwa konsumen mereka selalu mau menggunakan karet pengaman itu. Dan kalau penolakan itu terjadi, mereka pun tetap bersedia melakukan pelayanan. Kalau mereka dapat dianggap mewakili para WTS yang tersebar di mana-mana, maka sia-sialah usaha kondomisasi yang akan digalakkan itu.
    
Lebih konyol lagi, mereka mengaku sangat hati-hati menerima konsumen wisatawan asing karena takut tertular AIDS. Tetapi ternyata,wisatawan asing yang mereka maksud adalah wisatawan bule (Barat), sementara wisatawan dari negara lain tidak perlu diwaspadai. Dan semakin konyol, ketika mereka mengaku tidak takut tertular AIDS, bila meneriima wisatawan lokal. Seakan-akan orang sendiri tidak dapat menularkan virus itu.
    
Agaknya usaha terpenting ialah menanamkan pengertian yang benar dan jelas tentang AIDS, terutama penularannya melalui hubungan seksual risiko tinggi, dan usaha pencegahannya. Ini berarti, bahwa sasarannya bukan hanya kelompok tertentu, seperti WTS, walaupun mungkin ini diprioritaskan, melainkan masyarakat luas, mengingat perubahan pandangan dan perilaku seksual yang telah terjadi.
     
Kini setelah pengidap virus dan penderita AIDS semakin banyak di sini, barulah semakin riuh terdengar berbagai kegiatan untuk melawan AIDS, mulai dari berbagai seminar, penelitian, ceramah, sampai kepada pembagian kondom. Itu pun setelah pihak-pihak luar mengucurkan dananya, seperti WHO dan Ford Founation. Seakan-akan tanpa kecucuran dana dari laur, kita biarkan AIDS menyerang kita, sampai lebih banyak korban yang jatuh. Tetatpi betapapun, memang masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.Bagi sebagian orang yang (terpaksa) melakukan hubungan seksual dengan orang lain, terutama yang berperilaku seksual risiko tinggi, kita serukan untuk selalu menggunakan kondom yang baik. Namun, seruan ini akan kandas, bila kita tidak tanamkan pengertian yang baik tentang AIDS sebelumnya. Langkah kondomisasi dengan membagikan kondom di tempat-tempat WTS, merupakan langkah yang baik, walaupun belum tentu bermanfaat atau hanya akan dijadikan balon mainan. Masalahnya, konsumenlah yang menentukan mau atau tidak menggunakan kondom. Kecuali, kalau semua WTS berani menolak konsumen yang tidak mau menggunakan kondom.

Para WTS di Sanur, Bali, yang menjadi sasaran penelitian AIDS mengaku, bahwa mereka selalu menyediakan kondom. Tetapi, tidak satu pun yang mengaku, bahwa konsumen mereka selalu mau menggunakan karet pengaman itu. Dan kalau penolakan itu terjadi, mereka pun tetap bersedia melakukan pelayanan. Kalau mereka dapat dianggap mewakili para WTS yang tersebar di mana-mana, maka sia-sialah usaha kondomisasi yang akan digalakkan itu.

Lebih konyol lagi, mereka mengaku sangat hati-hati menerima konsumen wisatawan asing karena takut tertular AIDS. Tetapi ternyata,wisatawan asing yang mereka maksud adalah wisatawan bule (Barat), sementara wisatawan dari negara lain tidak perlu diwaspadai. Dan semakin konyol, ketika mereka mengaku tidak takut tertular AIDS, bila meneriima wisatawan lokal. Seakan-akan orang sendiri tidak dapat menularkan virus itu.

Agaknya usaha terpenting ialah menanamkan pengertian yang benar dan jelas tentang AIDS, terutama penularannya melalui hubungan seksual risiko tinggi, dan usaha pencegahannya. Ini berarti, bahwa sasarannya bukan hanya kelompok tertentu, seperti WTS, walaupun mungkin ini diprioritaskan, melainkan masyarakat luas, mengingat perubahan pandangan dan perilaku seksual yang telah terjadi.

Kini setelah pengidap virus dan penderita AIDS semakin banyak di sini, barulah semakin riuh terdengar berbagai kegiatan untuk melawan AIDS, mulai dari berbagai seminar, penelitian, ceramah, sampai kepada pembagian kondom. Itu pun setelah pihak-pihak luar mengucurkan dananya, seperti WHO dan Ford Founation. Seakan-akan tanpa kecucuran dana dari laur, kita biarkan AIDS menyerang kita, sampai lebih banyak korban yang jatuh. Tetatpi betapapun, memang masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar